Selasa, 12 Agustus 2014

Titik Dua


Majalah Tempo 12 Jan 2009. Eep Saefulloh Fatah. Pengamat politik.
Setiap kali mengirim kolom untuk media massa, saya selalu mencemaskan nasib ”titik dua” saya. Sangat sering terjadi, sang ”titik dua” tak jadi muncul dalam kolom yang diumumkan ke khalayak. Ia dihabisi para editor. Malang nian nasibnya.
Padahal, sebagai penulis kolom, saya menggemari titik dua. Bagi saya, ia wakil terbaik dari gagasan ekonomi kata sekaligus penggaris bawah yang efektif.
Dengan tampilan bersahaja, titik dua mampu menggantikan banyak alat ungkap bahasa yang lebih boros: yaitu, yakni, adalah, berikut ini, sebagai berikut, seperti terinci berikut, sebagaimana terpapar berikut, sebagaimana tergambar berikut ini. Sumbangannya pada ekonomi kata pun bukan main.
Ia juga alat penggarisbawahan nan tandas. Ketika kita hendak memaparkan tiga pokok pikiran utama, sekadar misal, titik dua bisa dipakai pada alinea pembuka paparan itu. Di situ, titik dua berfungsi menggarisbawahi secara ringkas bahwa ketiga hal yang hendak kita paparkan itu penting belaka. Ia juga membantu pembaca untuk tak tersesat, tetap terikat pada sang pokok pikiran utama.
Karena itulah saya menggemarinya. Sebuah kolom mesti cerdas bersiasat dengan keterbatasan ruang halaman surat kabar dan majalah. Semakin canggih siasat itu semakin lebar peluang pengelanaan gagasan di tengah keringkasan sebuah kolom. Di sinilah kita bersua guna titik dua.
Perkenalan saya dengan titik dua terjadi sejak guru bahasa Indonesia di sekolah dasar mulai mengajari kami bermahir-mahir dengan tanda baca. Namun pertemanan dekat saya dengannya mulai terbangun ketika menjalani sekolah menengah atas. Goenawan Mohamad adalah sang mak comblang. Waktu itu saya mulai teratur membaca majalah Tempo, sekalipun selalu telat dua pekan karena saya membelinya di kios majalah bekas.
Saya pun mulai lumayan teratur membaca Catatan Pinggir sambil sesekali tak memahaminya. Di sinilah­ saya kerap bertemu dengan titik dua yang ditampilkan Goenawan dalam bentuk terbaiknya: meringkas seka­ligus menggarisbawahi paparan. Goenawan mengubah pandangan saya tentang titik dua dari sekadar tanda baca biasa menjadi perangkat penting seorang penulis.
Titik dua menjelma menjadi azimat sakti pelawan pemborosan kata—sang musuh besar media massa di era serba cepat dan ringkas sekarang ini. Maka, dalam posisi ini, titik dua secara teoretis selayaknya menjadi teman baik para penulis dan editor kolom surat kabar dan majalah.
Tapi, itulah. Kadang kala praktek tak selalu sesuai dengan teori. Musuh terbesar saya justru para editor itu. Mereka lumayan senang membunuhi titik dua saya dan menggantinya dengan ”yaitu” atau ”yakni” atau ”sebagai berikut”. Alih-alih menyokong ekonomi kata, para editor itu menghambur-hamburkan empat hingga 16 karakter dalam sekali tebasan penyuntingan.
Saya pun senantiasa mencemaskan titik dua saya setiap kali mengirimkan kolom. Hingga tulisan ini dibuat, kecemasan itu selalu tersimpan dalam senyap hati. Agak tak nyaman jika acap kali mengirim kolom saya harus memberi editor catatan, ”Tolong, jangan buang titik dua saya. Saya sungguh menyukainya.”
Pertanyaannya, mengapa titik dua tak terlampau digemari bahkan di kalangan yang semestinya menjadi penganut paling fanatik gagasan ekonomi kata? Mengapa alat peringkas kata dan penandas gagasan ini gampang terpinggirkan?
Saya khawatir tak bakal mampu memberikan jawaban spesifik. Tapi saya duga ini berkait dengan kecen­derungan umum dalam berbahasa Indonesia: menghindar yang ringkas-ringkas, senang berpanjang-panjang.
Dibandingkan dengan bahasa Inggris, misalnya, bahasa Indonesia tak punya banyak ”wakil tunggal”, yakni satu kata untuk menggambarkan sebuah gejala. Banyak gejala mesti dijelaskan dengan satu rumpun kata yang terkadang berupa sebuah frasa panjang.
Dalam tataran bahasa lisan, gejala ini bahkan lebih tegas. Agak sulit menemukan seorang pembicara, pembicara publik paling mahir sekalipun, sebagai pengguna bahasa Indonesia yang ringkas dan padat sekaligus penyampai pesan yang efektif.
Pemanjangan paparan atau pemborosan kata dibentuk oleh banyak hal, dari upaya penghalusan (eufe­misme) hingga dramatisasi (hiperbolisme). Namun, apa pun pembentuknya, saya yakin perlawanan atasnya harus dimulai oleh para pengguna bahasa di garda terdepan, terutama para pelaku media.
Media memiliki peranan genting membangun dan mendinamisasi bahasa. Bukankah hikayat Tempo sendiri membuktikannya? Media punya peranan penting memfasilitasi komunitas dan masyarakat secara luas untuk bekerja bersama mematangkan bahasa. Bukankah setiap bahasa di mana saja tak pernah dibangun sekali untuk selamanya?
Setidaknya, manakala media massa sudah semakin sadar akan peran genting dan pentingnya itu, saya tak perlu lagi mencemaskan sang ”titik dua” acap kali melayangkan sepucuk kolom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar