Senin, 11 Agustus 2014

HUBUNGAN AGAMA,ILMU,TEKNOLOGI & KEBUDAYAAN


 Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia.

Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya.Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga di indikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999)

Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin (Ahmed, 1999).

Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:

1) berseberangan atau bertentangan,

2) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,

3) tidak bertentangan satu sama lain,

4) saling mendukung satu sama lain,

 

agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak.Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya.


Dalam pola hubungan seperti ini,pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.

Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan,2009)

Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidakdapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda.

Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama danilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada padawilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal,pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain.

Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009).Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi jugatidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek,ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.

 Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh apabila dikaitkan (Furchan, 2009).
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentanganantara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.

Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud:

ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya (Furchan, 2009).

GBHN 1993-1998 menyatakan tentang kaitan pengembangan iptek dan agama,bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral. Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung.

Kesan hubungan netral antara agamadan iptek ini juga muncul apabila kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada satu kalimat pundalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agamadengan iptek. Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek (Furchan, 2009).

_________________________________________________________________________________

 Pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesanyang berbeda. Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti “… bahwa segala usahadan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila” (Bab II, C. 1.) (Furchan, 2009).

Di bagian lain dinyatakan bahwa pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untukmemperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional. Darisini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya. Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut (Furchan, 2009).

Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan (Furchan, 2009).

Dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganutfaham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa (Furchan,2009).

Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu di jiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena,untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama)(Furchan, 2009).

Hubungan Agama dengan Kebudayaan Sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang mengandung kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta kekuasaan supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai pemeliharaan kontrol sosial (Sutardi, 2007).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaanterhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama- agama.

Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).


Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan tersesat tanpa agama (Sutardi, 2007).

Sebelum ilmu antropologi berkembang, aspek religi telah menjadi pokok perhatian para penulis etnografi. Selanjutnya, ketika himpunan tulisan mengenai adat istiadat suku bangsa di luar eropa berkembang dengan luas dan cepat melalui dunia ilmiah,timbul perhatian terhadap upacara keagamaan. Perhatian tersebut disebabkan hal-hal berikut:

upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahiriah, dan bahan etnografi mengenai upacara keagamaan yang diperlukan dalam menyusun teori-teori tentang asal-usul suatu kepercayaan (Sutardi, 2007).

Mengenai soal agama, Pater Jan Bakker menyatakan bahwa filsafat kebudayaan tidak menanggapi agama sebagai kategori insane semata-mata, karena bagi filsafat ini agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya; merupakan jawab manusia kepada panggilan ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman. Iman tidak berasal dari suatu tempat ataupun pemberian makhluk lain. Iman ini asalnya dari Tuhan, sehingga nilai-nilai yang mincul dari daya iman ini tidak dapat disamakan dengan karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut berasal dari Tuhan. Agama sebagai sistem objektif terkandung unsur-unsur kebudayaan (Bakker, 1984).

Yang jelas dalam ilmu antropologi memang agama menjadi salah satu unsure kebudayaan. Dalam hal ini para ahli antropologi tidak berbicara soal iman, sebabsecara empiris iman tidak dapat dilihat (Bakker, 1984).Perilaku Religi dalam Masyarakat Agama memiliki posisi yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.Negara mengakui keberadaan agama dan melindungi kebebasan masyarakat dalam melaksanakan ajaran agamanya (Sutardi, 2007).

Pada saat ini, adanya kebebasan dan keterbukaan memberikan ruang yang besarbagi masyarakat untuk mengamalkan ajarana agama sebaik mungkin. Semangat otonomi daerah yang memberikan keleluasan dan berpartisipasi dalam mengurus daerahnya masing- masing memberi peluang untuk mengangkat ajaran agama sebagai ruh pengelolaan pemerintahan.

Ajaran agama dikemas sebagai dasarpengaturan pemerintahan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilaiyang diangkat merupakan nilai-nilai kebaikan universal yang juga diakui oleh agamalain (Sutardi, 2007).
Ajaran agama ketika disandingkan dengan nilai-nilai budaya lokal di era desentralisasi dapat diserap untuk dijadikan pengangan kehidupan bermasyarakat.Hal ini dapat dilihat dengan diberikannya otonomi khusus kepada Aceh yang dikenal dengan Nanggroe Aceh Daussalam. Agama dan budaya di NAD sudah melebur dantidak bisa dipisahkan sejak dahulu, ketika kerajaan Islam masih ada di wilayah tersebut.

Dengan otonomi khusus ini hukum pidana Islam kembali dihidupkan sehingga masyarakat merasakan keadilan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini menjadi awal yang baik dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan mengangkat agama dan budaya yang ada di masyarakat tersebut (Sutardi, 2007).

Pada masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya, perilaku keagamaan juga memberikan dampak yang cukup berarti. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Suku Toraja di Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Toraja mempercayai bahwa kematian merupakan awal menuju kehidupan yang kekal. Itu sebabnya dalam budaya Toraja dikenal pemeohidup manusia adalah untuk mati’. Artinya,setelah mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana.

Untuk mencapai nirwana, seseorang yang meninggal harus membawa bekal harta sebanyak-banyaknya. Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surga dengan pesta yang semarak. Semakin banyak benda yang dibawa si mayat, semakin bahagia hidupnya di alam baka (Sutardi, 2007).

Dari ilustrasi tersebut
dapat dikatakan bahwa perilaku keagamaan dapat memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Toraja sampai saat ini dikenal memiliki kebiasaan menabung dan bersikap hidup hemat agar nantinya dapat menyelenggarakan upacara kematian yang meriah. Mereka menganggap anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik sebab dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rejeki dan menjaga keturunannya dengan baik pula (Sutardi, 2007).

3 komentar:

  1. Klau bisa, tolong dicantumkan daftar pustaka. supaya kita yang membaca dapat mengatahui referensi yang digunakan untuk memudahkan kami pembaca dalam mencari buku yang digunakan sebagai referensi oleh penulis.

    BalasHapus