Selasa, 12 Agustus 2014

Hipnotis TV dan Demoralisasi Drama di Indonesia


Tanpa kita sadari televisi (TV) telah membentuk karakter dan mental bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan, termasuk sistem pendidikan yang ada. TV ibaratkotak Pandora di mana banyak keajaiban yang muncul, menghipnotis dan membuat kita terbuai.Beberapa waktu silam, @PsikologID memberikan kultwit yang memaparkan fakta bahwa anak-anak di Indonesia termasuk heavy viewer atau kecanduanmenonton TV karena setiap hari menghabiskan 6 jam untuk duduk di depan TV.

Parahnya lagi, kecanduan tersebut juga menghinggapi para orang tua terutama mereka yang berasal dari status ekonomi menengah ke bawah.

Membiarkan anak menonton TV secara bebas sama halnya dengan mengundang orang asing ke dalam rumah yang mengajarkan mereka tentang berbagai hal di setiap harinya. Hal itu terjadi karena banyak orangtua yang tidak sadar bahwa karakter anak mereka telah dipercayakan untuk dibentuk oleh TV, bahkan orang tua sendiri juga turut mengamini TV sebagai role model mereka. Hal ini sesuai dengan Teori Kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner yang berpendapat bahwa TV menjadi media tempat para audiens belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya.

Selama  audiens kontak dengan TV, mereka akan belajar tentang dunia, belajar bersikap dan memahami nilai-nilai kehidupan yang berujung pada homogenisasi budaya.Lasswell dan Wright menyatakan bahwa ada 4 fungsi media massa, yaitu :

1) Social Surveillance. Media berfungsi dalam penyebaran informasi daninterpretasi agar tercapai kontrol sosial di masyarakat,
(2) Social Correlation. Media terlibat dalam penyebaran informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan yang lainnya,
(3) Socialization. Media berfungsi dalam pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya,
(4) Entertainment  di mana media menyajikan hiburan untuk khalayaknya.Ironisnya fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran TV diIndonesia, sehingga fungsi lainnya seolah telah terlupakan.

Coba kita perhatikan dengan seksama, program apa yang mendominasi layar kaca Indonesia jika bukan sinetron yang tayang stripping dan sangat minim nilai moral, bahkan sinetron dengan setting sekolah sekalipun. Jarang sekali ada sinetron yang memperlihatkan muridnya yang sedang belajar dikelas, perpustakaan, mengerjakan ujian, diskusi dengan guru, ataupun suasana real yang terjadi di sekolah. Justru yang ada kita disuguhi arogansi,konsumerisme serta hedonisme.

 Bahkan guru sebagai sosok pendidik juga digambarkan sangat tidak patut seperti karakter yang genit dan lebay.Sinetron seperti inilah yang dikonsumsi oleh masyarakat dan telah mengubah mindset serta perilaku mereka terhadap “sekolah”. Sekolah tidak lagi menjadi tempat menimba ilmu, mengembangkan kreativitas,membentuk kepribadian, dan merangkai mimpi guna meraih masa depan yang cemerlang. Namun sekolah justru menjadi ajang pamer gengsi baik dari segi penampilan atau kekayaan sehingga tidaklah mengherankan ketika Ujian Nasional (UN) di depan mata, baik murid, pihak sekolah dan orang tua menjadi panik dan selalu merasa tidak siap.


 Hal ini bisa menjadi refleksi diri kita untuk kritis dalam menyikapi setiap isu yang terjadi di masyarakat. Tanggung jawab dalam membangun negara tidak serta merta selalu ada di tangan Pemerintah, namun media dan masyarakat juga memiliki porsi yang sama dalam memberikan kontribusi positif.


"Seharusnya media menjadi jembatan ilmu serta wawasan sarana pembimbing.bahwa kenyataannya media-media cepat saji berhasil menghipnotis sekaligus meracuni secara perlahan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar