Selasa, 12 Agustus 2014

HEGEMONI


Bismilahirrohmanirrohimi
1.        Pengertian
Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘eugemonia’, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh Negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi ( Simon 2004:19-20).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Karena itu, hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya (Bellamy, 1987:185).
2.            Konsep Teori Hegemoni Gramsci
Pendekatan hegemoni memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan sosiologi sastra. Pendekatan hegemoni (Sugiono, 1999: 31-34) dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik itu artinya, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak lain penggunaan kekuatan hanyalah salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat kompromi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.
Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok-kelompok yang berkuasa, seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam kehidupan manusia. Hal ini, menjelaskan bahwa kelas-kelas dominan hanya dapat menegaskan otoritasnya dengan cara menyakinkan jika kelas tersebut bisa memproyeksikan pandangan hidupnya ke dalam tatanan sosial dan membuat pandangan hidup tersebut muncul sebagai acuan bersama sebagai common sense (Cavallaro, 2004:141).
Ada empat hal yang patut di catat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antarkelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial, harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern.
Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini, berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasikan ideologi, tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan institusi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002:23-24).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karya sastra yang notabene salah satu bentuk karya seni, bagian integral kebudayaan, merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organik yang merupakan salah satu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu gagasan tunggal. Sasaran tersebut adalah penciptaan satu iklim kultural yang tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini, menuntut pemersatu sosial kultural yang melalui multiplisitas kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan yang tersebar dan heterogen disatukan. Kegiatan serupa ini merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “ manusia kolektif “ (Faruk, 2003:67).
Teori hegemoni membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai sebuah kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya (Faruk,2003:78).

3.        Sastra dan Hegemoni Gramsci
Sastra, bagi Gramsci, adalah karya-karya yang belum selesai. Setiap karya sastra yang lahir adalah respon terhadap karya sastra terdahulu dan menjadi alternatif yang akan direspon oleh karya-karya sastra yang akan datang. Gramsci melihat posisi karya sastra berada dalam sebuah kontinum sejarah yang utuh dan tidak persial. Gramsci memandang sastra sebagai bagian yang integral dengan sejarah sebuah komunitas (Anwar, 2010:66).
Gramsci mengarahkan karya sastra sebagai bagian dari perjuangan sebuah “kebudayaan baru” yang mengarahkan masyarakat menuju sebuah kehidupan moral baru yang terkait erat dengan institusi kehidupan baru. Pada konteks tersebut, Gramsci menyatakan sastra sebagai sebuah cara baru untuk mengalami dan melihat kenyataan. Orientasi Gramsci tentang sastra adalah mengarahkan sastra pada organisasi kebudayaan dimana peran sastrawan tidak terlepas dari fungsi sosialnya untuk mencapai hegemoni budaya baru. Sehingga secara hipotetis, Gramsci menyatakan bahwa “semakin setia sastra dengan budaya dan sentiment kebangsaan dalam fase sejarah yang memiliki suatu komunitas, maka akan semakin populaer karakter sastra tersebut (Anwar, 2010:73).
Bagi Gramsci, sastra harus dikaitkan dengan tiga aspek yang bersifat dinamik dan dialektik. Pertama, sastra harus dikaitkan dengan sejarah manusia dan relasi-relasi sosial yang kongkrit, maka sastra harus bersifat praksis secara politis (meski bukan berarti politik. Kedua, sastra harus mempunyai otonomi dalam politik, sebab hakikat karya sastra lahir secara spontan dan tidak dapat dipaksakan dari pemerintah maupun di luar karya sastra itu sendiri. Ketiga, karya sastra harus memfasilitasi kekuatan-kekuatan revolusioner yang progresif. Secara mendasar, Gramsci berpandangan bahwa sastra adalah sebuah proses social yang bersifat  historis, serupa dengan aktivitas intelektual lainnya yang dapat mempengaruhi dengan cara mempesona manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar