Selasa, 12 Agustus 2014

RETORIKA DAN MEDIA PENCITRAAN


Dewasa ini tak aneh jika budaya yang ada begitu absurd dalam hal kemayarakatan. indikasinya, kebanyakan dari kita sehingga menjadikannya suatu budaya yang abstrak melihat suatu kepribadian manusia hanya dari kemasannya. maka indikasi yang menjadi “lawan” bagi indikasi sebelumnya adalah nilai dari ucapan seseorang yang dikemas begitu manarik sehingga menjadi opini bernilai positif bagi kepribadiaan seseorang.
Ucapan dan gaya dalam mengucapkan atau melisankan kata menjadi rangkaian makna memang dirasa penting untuk mengindikasikan kepribadian yang elegan dimata orang lain. namun, kebanyakan dari kita menjadikan itu sebagai media yang penulis istulahkan sebagai “kendaraan memunafikan diri”. maksudnya, dengan kekuatan beretorika seseorang kadang kala tidak diimbangi dengan esensial jiwa akan kejujuran konten pesan yang disampaikan.
tak sedikit, para elit menggunakan metose tersebut. komunikasi politik mereka begitu cemerlang disampaikan, sehingga mampu menghipnotis publik dengan retorikanya. dan ketika berbicara kejujuran dari pesan yang mereka sampaikan, jika kita lihat dari indikasi pesannya setelah beberapa waktu, semua hanya bersifat kebohongan, dan membentuk mental utopis bagi masyarakat pada umumnya.
Soekarno dalam tulisannya Menjadi Guru Di Masa Kebangunan menuliskan, “Men kan niet onderwijzen wat men will, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is”. yang artinya, ”Manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya”, demikian maksud dari apa yang ditulis Soekarno di atas.
”men kan alleen onderwijzen wat men is”, maksudnya adalah apa yang terungkap adalah apa yang ada padanya. Totalitas diri-lah yang diungkap, ada kejujuran yang dalam dan tulus, mengalir dari diri yang paling dalam. Bahwa dalam retorika ada tata bahasa, ada naik dan turun intonasi, ada gerak tubuh, tetapi itu semua tidak lepas dari diri yang paling dalam. Inilah retorika sejati, bukan retorika yang telah mengalami ”pembunuhan karakter” seperti yang ada dalam ungkapan-ungkapan ”ach itu kan cuma retorika ….”
Karena retorika berasal dari kejujuran yang tulus maka dia senantiasa juga berusaha untuk membongkar setiap hal yang mengandung ketidak-jujuran. Retorika bicara mengenai kebenaran dan itu berarti juga selalu berupaya menyingkap selubung yang menutupi kebenaran. Dengan selubung yang tersingkap maka kebenaran akan nampak dan banyak orang menjadi dapat melihat dan memahami kebenaran dengan jernih.
Retorika bukan permak dan simulasi, bukan juga make-up dan pencitraan – apalagi laku melodramatik, tetapi dia adalah inner beauty, kecantikan dan kekuatan dari dalam yang mengalir keluar. Maka syarat pertama orang mampu ber-retorika adalah dia orang yang bebas, atau dia berani untuk membebaskan diri menentang belenggu yang mungkin mengikatnya dari luar, sehingga kekuatan dari dalam itu dapat mengalir dengan segala dayanya. Mampu beretorika adalah juga penuh keberanian karena ia tidak pernah takut mengeluarkan apa yang ada dalam diri yang paling dalam dan berani menyingkap selubung kebenaran yang ada dihadapannya – apapun resiko yang dihadapinya.
Hanya manusia kongkret yang mampu ber-retorika dan manusia menjadi kongkret karena dia tidak pernah lepas dari permasalahan-permasalahan kongkret yang dihadapinya. Maka retorika juga tidak akan pernah lepas dari permasalahan kongkret manusia, yang aktual maupun yang potensial, termasuk dalam hal ini adalah harapan-harapan yang berkembang. Maka setelah tersingkapnya selubung yang mengaburkan kebenaran, ujung retorika adalah menggerakkan karena dia juga menyentuh harapan, sesuatu yang diinginkan untuk dicapai bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar