Minggu, 04 Januari 2015

Mantan Presiden Indonesia Ternyata Bekas Tentara Belanda


“Nenek moyangku seorang… … KNIL”, inilah judul dari sebuah segmen acara di Kompas TV pada tanggal 19 September malam, yang tentu saja menggugah rasa penasaran penulis.

Menurut sumber wikipedia, KNIL adalah singkatan darihet Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus.
Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan “Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger” di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk“. Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Fakta di atas tentu mengejutkan bagi sebagian generasi muda di Indonesia, yang selama ini tidak/belum mengetahui sejarah nyata negerinya sendiri sedemikian rupa. Bahkan selama masa belajar di sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, selama pengalaman penulis tidak penah dibahas secara gamblang (bahkan singkatannya saja tidak paham).
Sesuai dengan perannya sebagai tentara bayaran Belanda pada masa penjajahan, orang Indonesia (warga pribumi) yang menjadi tentara KNIL mau tidak mau akan berhadapan dengan bangsanya sendiri. Hal tersebut karena tentara KNIL dibentuk untuk tenaga keamanan daerah kolonial, terutama untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan di daerah, yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai dari perang Aceh, di Jawa, sampai akhirnya Belanda menyerah pada Jepang tahun 1942.
Satu hal yang paling menarik adalah kenyataan bahwa beberapa tokok pelaku sejarah bangsa ini, ikut serta dalam pendidikan kemiliteran (menjadi tentara) KNIL. Dua di antaranya (keduanya telah almarhum) adalah Jendral (purn) A.H. Nasution dan Jendral (purn) Soeharto mantan presiden Indonesia terlama yang kita kenal semua.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, tentara KNIL bubar dan beberapa ada yang bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA/bentukan Jepang). Seorang yang juga mendaftar mengikuti pendidikan tentara PETA adalah Soeharto (pada waktu itu berpangkat sersan). Beliau mendaftar dengan menggunakan identitas bukan sebenarnya karena telah menjadi tentara KNIL.
Dengan menjadi tentara yang akan dibayar untuk memerangi saudara sebangsa sendiri, apa yang terpikir oleh pembaca? Mungkin orang-orang seperti Soeharto dan A.H. Nasution tidak sampai terpikir untuk menjadi tentara dan dengan sengaja bertujuan memerangi saudaranya sendiri. Tetapi polanya di sini terlihat seperti ‘menempel’ pada siapapun yang berkuasa. Mungkin saja itu sebagai bagian dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan dan karir, tetapi apakah secara mendasar tidak terpikirkan sampai sejauh mana pekerjaan/karir itu akan berdampak. Pembaca akan memiliki penafsiran tersendiri.
Sumber-sumber:
id.wikipedia.orggoogle.c

Perkembangan Historiografi Di Indonesia : Tradisional, Kolonial, Modern, Nasional




Penulisan sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi budaya daripada usaha untuk merekam masa lampau sebagaimana adanya. Hal ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam diri manusia atau masyarakat selalu akan muncul pertanyaan tentang jati diri dan asal usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianutnya. Jadi, penulisan sejarah bukan bertujuan untuk mendapatkan kebenaran sejarah dengan pembuktian melalui fakta-fakta, akan tetapi keyakinan akan kebenaran kisah sejarah itu diperoleh melalui pengakuan serta pengabdiannya terhadap penguasa. Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat.
Hikayat Seri Rama yang disebut dari Kakawin Ramayana.
Gambar 1. Hikayat Seri Rama yang disebut dari Kakawin Ramayana.
Walaupun demikian, adanya sejarah tradisional memiliki arti dan fungsinya sendiri. Pertama, dengan corak sejarah tradisional yang bersifat istana sentris maka ada upaya untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis dan untuk memberikan legitimasi yang kuat kepada penguasanya. Ken Arok misalnya, dalam kitab Pararaton dituliskan sebagai titisan Dewa Wisnu dan putra dari Dewa Brahma dengan Ken Endok. Raja-raja Mataram membuat garis keturunannya dari periode manusia pertama dan para nabi, diikuti dengan periode tokoh-tokoh kepahlawanan dari kitab Mahabharata.

Kemudian pertumbuhan kerajaan Mataram dilukiskan berasal dari kerajaan kuno seperti Daha, Kediri, Singasari, Majapahit dan Demak. Adapula upaya untuk menarik garis keturunan dari tokoh raja legendaris seperti Iskandar Agung kepada rajaraja legendaris dari Jawa dan Malaka. Kedua, berbagai legenda, mitos dan folklor yang terkait dengan tokoh-tokoh sejarah lokal, seperti yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi bertujuan untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat. Ketika proses penyatuan telah berhasil dilakukan maka kekuasaan pusat membutuhkan untuk mengukuhkannya. Antara lain caranya dengan memasukkan berbagai sejarah lokal menjadi sejarah resmi Mataram. Ketiga, penyusunan sejarah tradisional juga dimaksudkan untuk membuat simbol identitas baru. Bagi rakyat di daerah menjadi bagian dari sebuah kerajaan berarti berbagi identitas dan gengsi baru. Bagi mereka datang ke ibu kota (nagara) merupakan sesuatu yang luar biasa. Kharisma seorang raja, seperti yang dituliskan dalam Babad Tanah Jawi, dipercaya karena adanya pulung. Dengan memiliki kharisma itulah, Panembahan Senopati berhasil menaklukkan ratu Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul sehingga mampu mengamankan kekuasaannya di sepanjang pantai selatan Jawa, tempat sang ratu berada sebagai penguasa dengan berbagai terornya.


Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan buku-buku historiografi yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial. Tidak dapat disangkal bahwa historiografi kolonial turut memperkuat proses historiografi Indonesia. Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi. Hal ini merupakan perkembangan logis dari situasi kolonial ketika penulisan sejarah bertujuan utama mewujudkan sejarah dari golongan yang berkuasa beserta lembaga-lembaganya.

Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan penafsiran dari penulis sejarah nasional Indonesia. Perlawanan Diponegoro, misalnya, dalam pandangan pemerintahan kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan. Di sisi lain, bagi penulis sejarah nasional perlawanan tersebut dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan cinta tanah air.
Lukisan dalam Babad Diponegoro.
Gambar 2. Lukisan dalam Babad Diponegoro.
Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan VOC sebagai ”pemersatu” dalam menuliskan sejarah Hindia-Belanda (Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu akan berbeda. Kehadiran bangsa Barat pada umumnya, Belanda pada khususnya, sengaja atau tidak sengaja mendorong ke arah integrasi. Perlawanan terhadap penetrasi dan kekuasaan bangsa Barat membantu pembentukan wilayah kesatuan yang kemudian disebut Indonesia. Demikian halnya pandangan bangsa Belanda yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai kelanjutan dari Konferensi Meja Bundar maka bangsa Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangannya sendiri kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.


Tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin, mendorong tumbuhnya historiografi modern. Di samping mempergunakan metode yang kritis, historiografi modern juga menerapkan penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan. Oleh karena itu, secara bertahap berbagai ilmu bantu dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari penguasaan bahasa serta keterampilan membaca tulisan kuno (epigrafi) sampai dengan numismatik, yang mempelajari mata uang kuno, dan yang mempelajari permasalahan arsip-arsip. 

Dengan demikian, bukan saja ketepatan pengujian bahan sumber harus selalu diperhalus, metode-metode baru dalam pengumpulan sumber (heuristik) harus pula dikembangkan. Misalnya, kalau bahan-bahan tertulis telah habis, sedangkan usaha untuk mendapatkan rekonstruksi sejarah yang relatif utuh belum tercapai maka dikembangkan apa yang disebut dengan sejarah lisan. Dengan sejarah lisan, teknik wawancara terhadap para pelaku atau saksi sejarah dan sistem klasifikasi dalam penyimpanannya perlu pula selalu disempurnakan, sedangkan bila untuk dipertimbangkan sebagai bahan penulisan sejarah maka diperlukan metodologi dan alat analisis disertai dengan ilmu bantu sejarah yang memadai.


Usaha perintisan penulisan sejarah nasional muncul setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh penulisan sejarah yang ada merupakan penulisan sejarah yang dilakukan pada zaman kolonial dan bersifat Belanda sentris. Selain itu, sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya membutuhkan suatu penulisan sejarah yang dapat menunjukkan jati diri sebagai bangsa, serta dapat memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesia yang baru, setelah bertahun-tahun berada dalam masa penjajahan. Pada waktu itu bagi rakyat Indonesia pada umumnya membutuhkan identitas mereka yang baru setelah zaman penjajahan yang diwarnai dengan adanya deskriminasi rasial. Penulisan sejarah nasional juga dibutuhkan untuk pendidikan bagi generasi muda sebagai warga negara.

Seminar Nasional Sejarah Pertama di Yogyakarta pada tahun 1957 merupakan kebangkitan penulisan sejarah nasional Indonesia. Seminar tersebut membicarakan pencarian identitas nasional bangsa Indonesia melalui rekonstruksi penulisan sejarah nasional. Seminar tersebut membicarakan tentang upaya penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional juga diharapkan dapat menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya.

Sejarah nasional merujuk kepada sejarah berbagai suku bangsa dan wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah nasional harus dapat memanfaatkan sumber-sumber dari penulisan sejarah tradisional dan kolonial untuk dilakukan rekonstruksi ulang menjadi sejarah yang berorientasi pada kepentingan integrasi nasional. Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan multi dimensional, baik aspek ekonomi, ideologi, sosial-budaya, maupun sistem kepercayaan. Kehidupan sebelum sebuah masyarakat mengenali tulisan disebut kehidupan prasejarah. Setiap bangsa di muka bumi ini pasti pernah mengalami masa prasejarah. Tiap-tiap bangsa mengalami masa praaksara berbeda-beda.

Jumat, 02 Januari 2015

Lukisan-Lukisan Adolf Hitler

Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tank Yang Hancur"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Bangunan Hancur Dengan Pintu Beratap Melengkung"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jembatan Yang Hancur"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jalan Pedesaan"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Puncak Menara Gereja"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Gereja di kala Fajar"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Puri Bertembok Gerigi"


Sketsa tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jembatan Bermenara"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tembok Medan Pertempuran"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Serangan Kendaraan Lapis Baja"

Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Gerbang Kemenangan di Münich"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Alter Werderthor Wien"


Sketsa ini dilukis Hitler pada tahun 1917 dan berjudul "Ardoye di Flanders"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Rumah Dengan Pagar Putih"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tempat Perlindungan di Fournes"


Lukisan ini dilukis Hitler pada tahun 1914 dan berjudul "Reruntuhan Sebuah Biara di Messines"


Lukisan ini dilukis Hitler pada tahun 1914 dan berjudul "Halaman Tempat Tinggal Lama di Münich"




Adolf Hitler seringkali berkata bahwa dia adalah mantan seniman "frustasi", sementara seni sendiri telah menjadi perhatian utama sepanjang hidupnya. Kemungkinan dia telah berhasil menjual beberapa ribu buah lukisan dan kartu pos (!) selama masa tinggalnya di Wina, dimana beberapa di antaranya masih dapat kita jumpai kini. Hitler sendiri tak pernah berkoar-koar bahwa dia adalah seorang pelukis berbakat (kalau masalah arsitektur, lain soal!). Lukisan-lukisan yang kebanyakan dibuatnya pada masa muda ini kemudian menjadi buruan para kolektor dari sejak zaman naiknya dia ke tampuk kekuasaan Jerman (yang kebanyakan dijadikan koleksi oleh para pemujanya). Bahkan sampai saat ini pun lukisan asli Hitler menjadi buruan utama para kolektor benda-benda seni!

Bisa dibilang bahwa buku utama yang menceritakan secara detail Hitler dan lukisannya adalah karangan Frederic Spott yang berjudul "Hitler and the Power of Aesthetic". Kita kutip komentar Spott: "Sebenarnya Hitler mempunyai bakat artistisk yang menonjol, setidaknya dalam hal menggambar sketsa bangunan. Hebatnya, teknik-teknik menggambarnya dia pelajari sendiri secara otodidak tanpa ada seorangpun yang mengajari. Seperti kebanyakan pelukis amatir lainnya, obyek yang dia gambar mula-mula adalah bentuk pemandangan sederhana. Kemudian dia belajar menggunakan warna-warna menggunakan cat air, dengan obyek pertamanya adalah sebuah sekolah di Jerman Selatan dan juga pemandangan khas kartu pos, selayaknya pemandangan di daerah perkotaan yang memang menjadi trend saat itu. Saat itu Hitler menggantungkan hidupnya dari melukis kartu pos dan reproduksi tempat-tempat terkenal di Jerman.


Sumber :
www.bytwerk.com
www.museumsyndicate.com