Kamis, 06 Agustus 2015

KEJAWEN Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan

KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan


Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial,  pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
 Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon,budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisidalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat.Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaibyang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalammanembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upayacultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya;kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupatembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Minggu, 04 Januari 2015

Mantan Presiden Indonesia Ternyata Bekas Tentara Belanda


“Nenek moyangku seorang… … KNIL”, inilah judul dari sebuah segmen acara di Kompas TV pada tanggal 19 September malam, yang tentu saja menggugah rasa penasaran penulis.

Menurut sumber wikipedia, KNIL adalah singkatan darihet Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus.
Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan “Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger” di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk“. Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Fakta di atas tentu mengejutkan bagi sebagian generasi muda di Indonesia, yang selama ini tidak/belum mengetahui sejarah nyata negerinya sendiri sedemikian rupa. Bahkan selama masa belajar di sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, selama pengalaman penulis tidak penah dibahas secara gamblang (bahkan singkatannya saja tidak paham).
Sesuai dengan perannya sebagai tentara bayaran Belanda pada masa penjajahan, orang Indonesia (warga pribumi) yang menjadi tentara KNIL mau tidak mau akan berhadapan dengan bangsanya sendiri. Hal tersebut karena tentara KNIL dibentuk untuk tenaga keamanan daerah kolonial, terutama untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan di daerah, yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai dari perang Aceh, di Jawa, sampai akhirnya Belanda menyerah pada Jepang tahun 1942.
Satu hal yang paling menarik adalah kenyataan bahwa beberapa tokok pelaku sejarah bangsa ini, ikut serta dalam pendidikan kemiliteran (menjadi tentara) KNIL. Dua di antaranya (keduanya telah almarhum) adalah Jendral (purn) A.H. Nasution dan Jendral (purn) Soeharto mantan presiden Indonesia terlama yang kita kenal semua.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, tentara KNIL bubar dan beberapa ada yang bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA/bentukan Jepang). Seorang yang juga mendaftar mengikuti pendidikan tentara PETA adalah Soeharto (pada waktu itu berpangkat sersan). Beliau mendaftar dengan menggunakan identitas bukan sebenarnya karena telah menjadi tentara KNIL.
Dengan menjadi tentara yang akan dibayar untuk memerangi saudara sebangsa sendiri, apa yang terpikir oleh pembaca? Mungkin orang-orang seperti Soeharto dan A.H. Nasution tidak sampai terpikir untuk menjadi tentara dan dengan sengaja bertujuan memerangi saudaranya sendiri. Tetapi polanya di sini terlihat seperti ‘menempel’ pada siapapun yang berkuasa. Mungkin saja itu sebagai bagian dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan dan karir, tetapi apakah secara mendasar tidak terpikirkan sampai sejauh mana pekerjaan/karir itu akan berdampak. Pembaca akan memiliki penafsiran tersendiri.
Sumber-sumber:
id.wikipedia.orggoogle.c

Perkembangan Historiografi Di Indonesia : Tradisional, Kolonial, Modern, Nasional




Penulisan sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi budaya daripada usaha untuk merekam masa lampau sebagaimana adanya. Hal ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam diri manusia atau masyarakat selalu akan muncul pertanyaan tentang jati diri dan asal usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianutnya. Jadi, penulisan sejarah bukan bertujuan untuk mendapatkan kebenaran sejarah dengan pembuktian melalui fakta-fakta, akan tetapi keyakinan akan kebenaran kisah sejarah itu diperoleh melalui pengakuan serta pengabdiannya terhadap penguasa. Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat.
Hikayat Seri Rama yang disebut dari Kakawin Ramayana.
Gambar 1. Hikayat Seri Rama yang disebut dari Kakawin Ramayana.
Walaupun demikian, adanya sejarah tradisional memiliki arti dan fungsinya sendiri. Pertama, dengan corak sejarah tradisional yang bersifat istana sentris maka ada upaya untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis dan untuk memberikan legitimasi yang kuat kepada penguasanya. Ken Arok misalnya, dalam kitab Pararaton dituliskan sebagai titisan Dewa Wisnu dan putra dari Dewa Brahma dengan Ken Endok. Raja-raja Mataram membuat garis keturunannya dari periode manusia pertama dan para nabi, diikuti dengan periode tokoh-tokoh kepahlawanan dari kitab Mahabharata.

Kemudian pertumbuhan kerajaan Mataram dilukiskan berasal dari kerajaan kuno seperti Daha, Kediri, Singasari, Majapahit dan Demak. Adapula upaya untuk menarik garis keturunan dari tokoh raja legendaris seperti Iskandar Agung kepada rajaraja legendaris dari Jawa dan Malaka. Kedua, berbagai legenda, mitos dan folklor yang terkait dengan tokoh-tokoh sejarah lokal, seperti yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi bertujuan untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat. Ketika proses penyatuan telah berhasil dilakukan maka kekuasaan pusat membutuhkan untuk mengukuhkannya. Antara lain caranya dengan memasukkan berbagai sejarah lokal menjadi sejarah resmi Mataram. Ketiga, penyusunan sejarah tradisional juga dimaksudkan untuk membuat simbol identitas baru. Bagi rakyat di daerah menjadi bagian dari sebuah kerajaan berarti berbagi identitas dan gengsi baru. Bagi mereka datang ke ibu kota (nagara) merupakan sesuatu yang luar biasa. Kharisma seorang raja, seperti yang dituliskan dalam Babad Tanah Jawi, dipercaya karena adanya pulung. Dengan memiliki kharisma itulah, Panembahan Senopati berhasil menaklukkan ratu Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul sehingga mampu mengamankan kekuasaannya di sepanjang pantai selatan Jawa, tempat sang ratu berada sebagai penguasa dengan berbagai terornya.


Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan buku-buku historiografi yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial. Tidak dapat disangkal bahwa historiografi kolonial turut memperkuat proses historiografi Indonesia. Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi. Hal ini merupakan perkembangan logis dari situasi kolonial ketika penulisan sejarah bertujuan utama mewujudkan sejarah dari golongan yang berkuasa beserta lembaga-lembaganya.

Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan penafsiran dari penulis sejarah nasional Indonesia. Perlawanan Diponegoro, misalnya, dalam pandangan pemerintahan kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan. Di sisi lain, bagi penulis sejarah nasional perlawanan tersebut dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan cinta tanah air.
Lukisan dalam Babad Diponegoro.
Gambar 2. Lukisan dalam Babad Diponegoro.
Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan VOC sebagai ”pemersatu” dalam menuliskan sejarah Hindia-Belanda (Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu akan berbeda. Kehadiran bangsa Barat pada umumnya, Belanda pada khususnya, sengaja atau tidak sengaja mendorong ke arah integrasi. Perlawanan terhadap penetrasi dan kekuasaan bangsa Barat membantu pembentukan wilayah kesatuan yang kemudian disebut Indonesia. Demikian halnya pandangan bangsa Belanda yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai kelanjutan dari Konferensi Meja Bundar maka bangsa Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangannya sendiri kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.


Tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin, mendorong tumbuhnya historiografi modern. Di samping mempergunakan metode yang kritis, historiografi modern juga menerapkan penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan. Oleh karena itu, secara bertahap berbagai ilmu bantu dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari penguasaan bahasa serta keterampilan membaca tulisan kuno (epigrafi) sampai dengan numismatik, yang mempelajari mata uang kuno, dan yang mempelajari permasalahan arsip-arsip. 

Dengan demikian, bukan saja ketepatan pengujian bahan sumber harus selalu diperhalus, metode-metode baru dalam pengumpulan sumber (heuristik) harus pula dikembangkan. Misalnya, kalau bahan-bahan tertulis telah habis, sedangkan usaha untuk mendapatkan rekonstruksi sejarah yang relatif utuh belum tercapai maka dikembangkan apa yang disebut dengan sejarah lisan. Dengan sejarah lisan, teknik wawancara terhadap para pelaku atau saksi sejarah dan sistem klasifikasi dalam penyimpanannya perlu pula selalu disempurnakan, sedangkan bila untuk dipertimbangkan sebagai bahan penulisan sejarah maka diperlukan metodologi dan alat analisis disertai dengan ilmu bantu sejarah yang memadai.


Usaha perintisan penulisan sejarah nasional muncul setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh penulisan sejarah yang ada merupakan penulisan sejarah yang dilakukan pada zaman kolonial dan bersifat Belanda sentris. Selain itu, sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya membutuhkan suatu penulisan sejarah yang dapat menunjukkan jati diri sebagai bangsa, serta dapat memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesia yang baru, setelah bertahun-tahun berada dalam masa penjajahan. Pada waktu itu bagi rakyat Indonesia pada umumnya membutuhkan identitas mereka yang baru setelah zaman penjajahan yang diwarnai dengan adanya deskriminasi rasial. Penulisan sejarah nasional juga dibutuhkan untuk pendidikan bagi generasi muda sebagai warga negara.

Seminar Nasional Sejarah Pertama di Yogyakarta pada tahun 1957 merupakan kebangkitan penulisan sejarah nasional Indonesia. Seminar tersebut membicarakan pencarian identitas nasional bangsa Indonesia melalui rekonstruksi penulisan sejarah nasional. Seminar tersebut membicarakan tentang upaya penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional juga diharapkan dapat menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya.

Sejarah nasional merujuk kepada sejarah berbagai suku bangsa dan wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah nasional harus dapat memanfaatkan sumber-sumber dari penulisan sejarah tradisional dan kolonial untuk dilakukan rekonstruksi ulang menjadi sejarah yang berorientasi pada kepentingan integrasi nasional. Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan multi dimensional, baik aspek ekonomi, ideologi, sosial-budaya, maupun sistem kepercayaan. Kehidupan sebelum sebuah masyarakat mengenali tulisan disebut kehidupan prasejarah. Setiap bangsa di muka bumi ini pasti pernah mengalami masa prasejarah. Tiap-tiap bangsa mengalami masa praaksara berbeda-beda.

Jumat, 02 Januari 2015

Lukisan-Lukisan Adolf Hitler

Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tank Yang Hancur"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Bangunan Hancur Dengan Pintu Beratap Melengkung"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jembatan Yang Hancur"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jalan Pedesaan"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Puncak Menara Gereja"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Gereja di kala Fajar"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Puri Bertembok Gerigi"


Sketsa tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Jembatan Bermenara"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tembok Medan Pertempuran"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Serangan Kendaraan Lapis Baja"

Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Gerbang Kemenangan di Münich"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Alter Werderthor Wien"


Sketsa ini dilukis Hitler pada tahun 1917 dan berjudul "Ardoye di Flanders"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Rumah Dengan Pagar Putih"


Lukisan tak bertahun yang dilukis Hitler ini berjudul "Tempat Perlindungan di Fournes"


Lukisan ini dilukis Hitler pada tahun 1914 dan berjudul "Reruntuhan Sebuah Biara di Messines"


Lukisan ini dilukis Hitler pada tahun 1914 dan berjudul "Halaman Tempat Tinggal Lama di Münich"




Adolf Hitler seringkali berkata bahwa dia adalah mantan seniman "frustasi", sementara seni sendiri telah menjadi perhatian utama sepanjang hidupnya. Kemungkinan dia telah berhasil menjual beberapa ribu buah lukisan dan kartu pos (!) selama masa tinggalnya di Wina, dimana beberapa di antaranya masih dapat kita jumpai kini. Hitler sendiri tak pernah berkoar-koar bahwa dia adalah seorang pelukis berbakat (kalau masalah arsitektur, lain soal!). Lukisan-lukisan yang kebanyakan dibuatnya pada masa muda ini kemudian menjadi buruan para kolektor dari sejak zaman naiknya dia ke tampuk kekuasaan Jerman (yang kebanyakan dijadikan koleksi oleh para pemujanya). Bahkan sampai saat ini pun lukisan asli Hitler menjadi buruan utama para kolektor benda-benda seni!

Bisa dibilang bahwa buku utama yang menceritakan secara detail Hitler dan lukisannya adalah karangan Frederic Spott yang berjudul "Hitler and the Power of Aesthetic". Kita kutip komentar Spott: "Sebenarnya Hitler mempunyai bakat artistisk yang menonjol, setidaknya dalam hal menggambar sketsa bangunan. Hebatnya, teknik-teknik menggambarnya dia pelajari sendiri secara otodidak tanpa ada seorangpun yang mengajari. Seperti kebanyakan pelukis amatir lainnya, obyek yang dia gambar mula-mula adalah bentuk pemandangan sederhana. Kemudian dia belajar menggunakan warna-warna menggunakan cat air, dengan obyek pertamanya adalah sebuah sekolah di Jerman Selatan dan juga pemandangan khas kartu pos, selayaknya pemandangan di daerah perkotaan yang memang menjadi trend saat itu. Saat itu Hitler menggantungkan hidupnya dari melukis kartu pos dan reproduksi tempat-tempat terkenal di Jerman.


Sumber :
www.bytwerk.com
www.museumsyndicate.com

Sabtu, 06 Desember 2014

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN?




Seorang profesor yg atheis berbicara dlm sebuah kelas.
Profesor : "Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada?"
Para mahasiswa : "Betul, Dia pencipta segalanya."
Profesor : "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan juga menciptakan kejahatan."
(Semua terdiam, kesulitan menjawab hipotesis profesor itu).
Tiba², suara seorang mahasiswa memecah kesunyian.
Mahasiswa : "Prof, saya ingin bertanya. Apakah dingin itu ada?"
Profesor : "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja, dingin itu ada."
Mahasiswa : "Prof, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yg kita anggap dingin sebenarnya adalah ketiadaan panas. Suhu -460 derajat Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Smua partikel mnjadi diam, tidak bisa bereaksi pd suhu tsb. Kita menciptakan kata 'dingin' untuk mengungkapkan ketiadaan panas.

Selanjutnya, apakah gelap itu ada?"
Profesor : "Tentu saja ada!"
Mahasiswa : "Anda salah, Prof! Gelap jg tidak ada. Gelap adalah keadaan di mana tiada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, sedangkan gelap tidak bisa. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk mengurai cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari panjang gelombang setiap warna. Tapi, Anda tdk bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur melalui berapa besar intensitas cahaya di ruangan itu. Kata 'gelap' dipakai manusia untuk menggambarkan ketiadaan cahaya.
Jadi, apakah kejahatan/kemaksiatan itu ada?"
Profesor mulai bimbang, tp menjawab : "Tentu saja ada."
Mahasiswa : "Sekali lagi Anda salah, Prof! Kejahatan itu tidak ada. Tuhan tidak menciptakan kejahatan/kemaksiatan, seperti dingin & gelap, 'kejahatan' adalah kata yg dipakai manusia utk menggambarkan ketiadaan Tuhan dalam dirinya. Kejahatan adalah hasil dr tidak hadirnya Tuhan dlm hati manusia.
Profesor terpaku & terdiam.
Dosa terjadi krn manusia lupa hadirkan Tuhan dlm hatinya.
Dan nama mahasiswa itu adalah: Albert Einstein!

Selasa, 25 November 2014

Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda





Tanggal 8 Maret, 66 Tahun Lalu

Oleh Nina Herlina L.

"Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!" (Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu!). Demikian NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij/Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda) mengakhiri siarannya pada tanggal 8 Maret 1942.

Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan Belanda di Indonesia berakhir sudah. Rupanya "waktu yang lebih baik" dalam siaran terakhir NIROM itu tidak pernah ada karena sejak 8 Maret 1942 Indonesia diduduki Pemerintahan Militer Jepang hingga tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan bahwa "Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun". Masyarakat memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, "Indonesia dijajah selama 350 tahun!" Sebab, ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Bung Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata, "Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi!" Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar, "Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen."

Tulisan ini akan menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu berakhir.

Kedatangan penjajah

Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.

Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan "gospel, glory, and gold" mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.

Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.

Kunjungan pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh. Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.

Dengan semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.

Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi "izin dagang" (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan).

Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi "negara dalam negara" dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi "tusschen personen" (perantara) penguasa VOC dan rakyat.

"Power tends to Corrupt." Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari "cacing cau" hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.

Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).

Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.



Saat-saat akhir

Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.

Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.

Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.

Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.

Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi korban.

Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.

Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa "Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur." Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.

Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa syarat.

Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.

Analisis

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).

Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.

Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.

Penulis Asli, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.