Senin, 11 Agustus 2014

PEMIKIRAN FILSAFAT “TEORI KRITIS ” JÜRGEN HABERMAS

Abstrak: JÜRGEN Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris. Semua pemikiran-pemikirannya sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Habermas merumuskan teori itu sebagai dasar epistemologisnya dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sangat berhubungan dengan kepentingan kognitif, sehingga posisi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, ilmu pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh sosial politik (ideologi), kekuasaan, dan kepentingan, termasuk juga oleh kelompok teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris.
Kata Kunci: Teori kritis, Emansipatoris,Mazhab Frankfrut


A. Pendahuluan
JÜRGEN Habermas adalah sosok filsuf pewaris pemikiran Madzhab Frankfrut. Pemikiran-pemikirannya cukup rumit dan sarat dengan rujukan metafora tapi sangat filosofis. Narasi besar pemikirannya bertumpu pada usaha pencarian sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang bebas dari penindasan. Ia mencoba mengembangkan sebuah teori kritis. Madzhab Habermas ini terkenal dengan “Teori Kritis” atau “Teori Kritis Masyarakat” yang melemparkan sebuah kritikan serius terhadap konsep teori Positivisme dan menyebut positivisme itu sebagai saintisme karena mengadopsi metode ilmu-ilmu alam untuk menggagas unified science. Dikatakan bahwa positivisme hanya berpura-pura bertindak objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, padahal ia menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status Quo masyarakat dan tidak mendorong perubahan.

Jika dirunut ke awal sejarahnya, memang titik tolak teori kritis sejak Horkheimer adalah berasal dari persoalan paham positivisme yang salah dalam memandang keberadaan ilmu-ilmu sosial, positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai (value-free), terlepas dari praktik sosial dan moralitas, yang dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Anggapan semacam itu mengkristal menjadi suatu kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan semacam itu hanya dapat diperoleh dengan menerapkan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Anggapan seperti itu disebut saintisme (scientism) yang berarti “Science’s belief in it self. That is the convicton that we can no longer understand science as one form of possible knowledge, but rather must be identify knowledge with science”. Menanggapi kenyataan itu, madzhab Frankfrut memberi alternative dengan “teori kritis” nya sebagai teori yang memihak praxis emansipatoris masyarakat. Di kemudian hari kemudian Habermas merumuskan teori itu sebagai dasar epistemologisnya dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sangat berhubungan dengan kepentingan kognitif, sehingga posisi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, ilmu pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh sosial politik (ideologi), kekuasaan, dan kepentingan, termasuk juga oleh kelompok teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris.

Teori kritis juga mampu membongkar kedok rasionalitas pencerahaan yang disebut rasionalitas instrumental itu telah gagal mencapai tujuan emansipatifnya yaitu membebaskan manusia dari perbudakan serta membangun kehidupan masyarakat independent yang bebas untuk mengatur kehidupan sosialnya sendiri. Kegagalan teori kritis generasi pertama lebih disebabkan terperangkap atas teori filosofis Karl Marx yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk pekerja. Kemudian JÜRGEN Habermas muncul sebagai pembaharu Teori Kritis dengan memperbaharui konsep paradigma komunikasi. Hal ini begitu nampak dengan langkah-langkah Habermas yang melakukan dialog-dialog Habermas dengan Foucoult tentang kekuasaan, dengan Parson tentang krisis sosial, dengan Popper mengenai falsifikasi dan yang terakhir bagaimana Habermas merumuskan hermeneutika kritis yang mengadopsi psikoanalisa untuk menggabungkan explanation dan understanding yang mengarah pada metode refleksi diri. Oleh karena itulah teori kritis ini mampu diterapkan dalam berbagai studi sosial seperti penelitian sosial kritis, kebijakan Negara dan kebijakan sosial, kontrol sosial, budaya pop analisa wacana dan media massa, kajian jender, psikologi sosial, sosiologi pendidikan, gerakan sosial, metode penelitian, ras dan etnisitas, politik mikro, pendidikan, serta pembaharuan sosiologi. Pada hakekatnya teori kritis ini memiliki empat karakter utama yaitu :

 Teori kritis bersifat historis, artinya teori kritis dilambangkan berdasarkan situasi masyarakat yang kongkrit dan kritik imanen yaitu kritik terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi
 Teori kritis bersifar kritis terhadap dirinya sendiri dengan cara evaluasi, kritik dan refleksi atas dirinya sendiri
 Teori kritis menggunakan metode dialektis sehingga teori kritis memiliki kecurigaan terhadap situasi masyarakat aktual
 Teori kritis adalah teori dengan maksud praktis yaitu teori yang mendorong transformasi masyarakat dan hanya mungkin dilakukan dalam praxis.

B. Sejarah Hidup JÜRGEN Habermas dan Karya Besarnya

JÜRGEN Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.

Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitations-Schrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.

Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left) , meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai  pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse.

Namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya, Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif.

Namun Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck Untuk Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan C.F.von Weizsacker, bahkan JÜRGEN Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai direkturnya. Di tempat inilah ia diangkat sebagai professor filsafat dan pensiun tahun 1994. Di tempat ini, ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno, Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir marxis pada umumnya. Hal itu nampak dari karya-karya terpenting Habermas, seperti :
a. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989
b. Theorie und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel, Boston, Beacon Press, 1973
c. Erkenntnis und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971
d. Toward a Rational Society : Student Protest, Science and Politics (1968-9), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970
e. On the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W. Nicholsen dan Jerry Stark, Cambridge,Mass, MIT Press, 1988
f. Legitimation Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1975
g. Communication and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, London, Heinemann, 1979
h. Theorie des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action. Volume 1 Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984
i. Theorie des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action. Volume 2 Lifeworld and System : a Ctitique of Functionalist Reason (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987
j. Der Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity (1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite Press, 1987.
C. Memetakan Pemikiran Habermas.

Untuk memahami pemikiran JÜRGEN Habermas terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Disebut Teori Kritis karena mazhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis.

Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masayarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Habermas dikenal sebagai pembaharu tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, sepanjang yang dirumuskan habermas ada enam tema dalam program teori mereka :a) bentuk-bentuk integrasi sosial, b)Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d)media massa dan kebudayaan massa, e)psikologi sosial protes dan f)Teori seni dan kritik atas positivisme.

C.1. Habermas dan Para Pendahulunya
Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan sertelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya. Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi. Dari penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan:

“ Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Mazhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch : Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan , yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs.

 Seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka teori rasionalisai tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial. Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini.

Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori, seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Mazhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama mazhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang JÜRGEN Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Mazhab Pemikiran Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Mazhab ini.

Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praxis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Mazhab Frankfrut pendahulunya. Disini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan factor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya.

Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan social manusia.

Dari segi isi dan latar belakang pemikiran-pemikirannya, Habermas tetap berakar pada tradisi idealisme Jerman seperti para pendahulunya, khususnya transendentalisme Kant, Idealisme Fiche dan Hegel, dan materialisme Marx. Sebagaimana lazimnya Mazhab Frankfrut, Habermas juga mengintegrasikan psikoanalisis Freud ke dalam teori kritisnya. Bahkan perhatiannya terhadap psikoanalisis nampak mencolok bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Dengan Habermas, teori Kritis mendapat wawasan baru yang diperoleh dari tradisi Anglo Amerika, yaitu Lingustic-analysis dari Wettgenstein, Searle dan Austin. Jadi melampaui para pendahulunya, ia mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap aspek linguistis manusia dapat dijumpai pula sejak karya-karya awalnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk rencana untuk mengarahkan pemikirannya kepada tradisi analitis itu. Beberapa kalangan menilai bahwa telah terjadi “linguistic Turn” dalam pemikiran Habermas Apapun mau disebut, minatnya terhadap analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru Teori Kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi dari praxis. Selain filsafat analistis, Habermas juga dipengaruhi oleh para pemikir pragmatis Amerika, seperti Pierce, Mead, dan Dewey. Dari aneka tradisi filsafat yang melatarbelakangi ini, ia mencoba mengintegrasikannya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis. Watak sistematis dari teori-teorinya itulah yang secara tajam membedakannya dari para pendahulunya yang terkenal sebagai antisistem.

Bidang-bidang yang menjadi pusat pengolahan Teori Kritisnya tidak terbatas hanya pada psikologi sosial ataupun ilmu-ilmu social seperti para pendahulunya. Pemahamannya mengenai praxis memungkinkannya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang sebelumnya tidak disinggung oleh para pendahulunya. Tentang luasnya kemungkinannya mempelajari bidang-bidang itu, B. Thompson memujinya :

“Sebagai pemikir social terkemuka di Jerman dewasa ini, Habermas mengolah orientasi teoritis yang relevan bagi wilayah disiplin-disiplin yang luas, dari politik dan sosiologi ke filsafat, psikologi dan linguistic. Karnyanya menyatakan pemahaman yang menakjubkan atas berbagai tradisi intelektual dan kaya akan gagasan-gagasan orisinil….Habermas menonjol sebagai pemikir dengan bidang dan pandangan yang luas sekali”
Habermas juga tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dewasa ini meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis kerap dicap sebagai “Ilmu-Ilmu Borjuis”. Misalnya, dengan minat yang cukup besar sebelum melontarkan kritiknya, ia mencoba menelaah teori fungsionalisme structural dan teori sistem Parsons. Perkembangan metodologi lainnya juga tidak ia lewatkan, misalnya diikutinya perkembangan dalam lapangan etnometodologi dan berbagai ilmu social fenomenologis dan hermeneutis. Dalam beberapa kesempatan ia terlibat dalam diskusi hangat dengan beberapa filsuf lain, antara lain dengan Gadamer.

Akhirnya melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi Teori Kritis. Pihak-pihak kiri yang memegang teguh “jalan konfliknya” pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang “sesat” dan “bekerja” demi ilmu-ilmu borjuis. Tuduhan seperti ini dapat dipahami karena Habermas memberi tempat sentral bagi consensus di dalam kritik ideologinya. Dari sudut generasi pertama, Teori Komunikasi itu justru menjadi alasan yang selayaknya untuk menempatkan Habermas sebagai pembaharu. Bersama para sahabatnya (Clauss Offe, Alberch Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert), pada tempatnyalah Habermas dipandang sebagai Generasi Baru Teori Kritis atau Generasi Kedua Teori Kritis.

C.2. Habermas dan Marxisme
Dalam konteks Marxisme pada umumnya, Habermas adalah seorang filsuf yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Marxis, bukan hanya Marxisme-ortodoks, melainkan juga Neo-Marxisme pada umumnya. Seperti para pendahulunya ia bermaksud menyesuaikan warisan Marxis dengan tuntutan-tuntutan zaman ini, dan lebih melakukan kritik karena bagi Habermas karya Marx ini merupakan kritik, dengan jalan tidak hanya  dengan mengupas karya-karya Marx tetapi juga melakukan penafsiran ulang dari penafsiran yang dilakukan oleh para penganut aliran ini. Corak penafsiran Habermas bersifat ilmiah dan filosofis, ia berusaha mengeliminir ciri-ciri romantis dari pemikiran Marx yang secara dominan mempengaruhi Adorno, Hokheimer dan Marcuse. Hal ini ia lakukan dengan tujuan Habermas ingin memurnikan pemikiran-pemikiran Marxis dari  romantisme maupun positivisme yang dianut oleh partai-partai komunis dan cendekia marxis lainnya.

Menurut Habermas, apabila Marx hanya sebagai ilmuwan belaka maka para penganut ajaran marxisme akan jatuh kepada sikap positivistis yang sekaligus bersifat ideologis, positivistis karena, mereka mengambil begitu saja pernyataan-pernyataan Marx yang sebenarnya tidak lagi memiliki relevansi bagi masyarakat dewasa ini, dan dengan cara seperti ini teori-teori Marx itu dipalsukan dan menjadi dogmatisme, dan ideologis karena pemikiran-pemikiran Marx akan digunakan sebagai legitimasi praxis politis yang kebal dari argument-argumen lawan. Ideologi adalah ide-ide yang dipercaya sebagai alasan tindakan akan tetapi tidak pernah efektif sebagai motif tindakan, alasan Habermas adalah karena menggerakkan kelompok sosial sebenarnya adalah motif yang sengaja disembunyikan dan lama kelamaan tidak disadari lagi sebagai motif
Di dalam tulisannya, Between Philosophy and Science : Marxism as Critique, ia memaparkan empat alasan histories mengapa konsep-konsep Marx di dalam kritik Ekonomi Politisnya tidak lagi relevan bagi keadaan zaman sekarang, yaitu :

a. Bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi merupakan superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplisistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politis.
b. Di dalam masyarakat kapitalisme lanjut, standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis, kelas-kelas social juga semakin terintegrasi di dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. Deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja. Dalam konteks itu, teori kelas tak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.
c. Karena kondosi-kondisi semacam itu, kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan-harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level Negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis”, pada level internasional.
d. Dengan bangkitnya Negara komunis Uni Soviet, diskusi sistematis sekitar Marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep Marxisme ortodoks membuktikan dirinya menjadi ideology. Jalan sosialis yang ditempuh Uni Soviet sendiri jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri.

D. Kritik atas Rasionalisasi
Menurut Habermas, rasionalitas-yakni, kemampuan berpikir logis dan analitis-lebih dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi menurutnya,adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi pembicaraan yang ideal” atau “komunikasi dialogis-emansipatoris bebas kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas.
Dalam pandangannya Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang  belakangan. Magnis-Suseno mencontohkan dengan keberadaan agama islam, bahwa agama islam itu tidak lahir karena adanya cara produksi masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena terjadi perubahan politik dan ekonomi masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi. .

Di dalam karya-karya selanjutnya Habermas mengalihkan teori tindakan komunikatifnya pada domain politik dan hukum. Ia membela “demokrasi deliberatif”, dimana suatu hukum dan institusi pemerintah akan lebih menjadi sebuah refleksi dari diskusi publik terbuka dan bebas. Habermas mengasumsikan bahwa banyak kepercayaan barat,misalnya, legitimasi hak milik pribadi-mau tidak mau harus direvisi jika mereka terus menerus mempersoalkan diskusi yang tidak dipaksakan dan tidak dibatasi oleh persamaan dan kebebasan manusia. Dalam demokrasi, Habermas mengandaikan bahwa setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, akan semakin menyadari perwujudan kepentingan mereka yang harus disertai dengan otonomi (self-governance) dan tanggung jawab, dan mereka hanya akan bersedia menyepakati sesuatu hanya jika argumen-argumennya bisa dinalar secara lebih baik.

Seperti anggota mazhab Frankurt lainnya, Habermas mengkritik bahwa masyarakat barat kontemporer nyata-nyata mempromosikan sebuah konsepsi rasionalitas terdistorsi yang mengandung impuls-impuls destruktif yang hanya berujung pada dominasi-sebagai contoh, dominasi sains dan teknologi atas alam. Teori Marx tidak relevan lagi untuk menganalisis situasi kapitalisme lanjut dimana ada peralihan dari kapitalisme privat ke kapitalisme Negara, dimana Negara yang ditopang oleh teknologi memeainkan peran yang signifikan untuk memperkuat dan mempertahankan industri-industri besar. Hal ini melemahkan otonomi dan kemampuan kritis masyarakat. Impuls ini, menurut mazhab Frankfurt, telah diepitomkan dalam cita-cita agung sejak zaman pencerahan abad ke-18.

Namun Habermas juga merintis sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang yang ia lihat sebagai aspek-aspek yang lebih konstruktif dan emansipatoris dari jaman pencerahan itu. Walaupun atas pikiran-pikirannya itu Habermas banyak mendapatkan kritik. Sebagian dari kritik-kritik itu mengklaim bahwa “situasi pembicaraan idealnya’ itu tidak dapat divalidasi oleh pengalaman praktis. Dengan begitu tetap tidak akan ada sebuah standar yang pas untuk menilai legitimasi hukum dan institusi. Ada juga yang mencermati bahwa teori demokrasi deliberatifnya muncul lebih menyerupai sebuah aturan bagi rasionalitas daripada aturan bagi manusia. Lebih dari filsuf pasca periode perang Jerman lainnya, bagaimanapun Habermas telah berhasil memposisikan gagasan-gagasan Mazhab Frankfurt ke tengah-tengah kancah arus utama perbincangan pemikiran kontemporer mutakhir.

E. Kritik atas Paham Positivisme
Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma psoitivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam.

Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.

Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar. Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannyapun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistik. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistik itu, habermas tidak pesimistik, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20. Dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih.

Refleksinya atas salah satu unsur terpenting teori kritis masyarakat klasik ialah hubungan antara perumusan teori dengan kepentingan ideologis yang berhasil membawa Habermas untuk membedakan antara ilmu-ilmu empiris di satu pihak dengan ilmu-ilmu historis hermeneutis di lain pihak. Menurutnya distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris analitis yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis hermeneutis. Ilmu-ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari kepentingan akan komunikasi yang berhasil dan bukan penguasaan alam. Penemuan ini membawa keuntungan yang amat penting bagi Habermas, karena dengan temuan itu ia mampu membuktikan dimana letak kekurangnan fundamental dalam perspektif dasar Karl Marx.

Dalam Pandangan Karl Marx komunikasi antara manusia harus dipahami menurut model pekerjaan atau hubungan produksi, oleh karenanya Habermas berhasil menyumbangkan salah satu kritik fundamental pada pemikiran Karl Marx sekaligus keluar dari lingkaran pesimisme teori kritis masyarakat klasik. Sebab dalam pandangan Habermas setiap komunikasi menuntut kebebasan, maka di dalam kepentingan akan keberhasilan komunikasi ada kepentingan yang lebih fundamental lagi yaitu kepentingan-kepentingan dasar manusia akan emansipasi menyatakan diri. Oleh karena itu pendekatan monokausal sebagaimana diyakini oleh Karl Marx bahwa masyarakat yang sungguh-sungguh manusia adalah dapat dihasilkan dengan mengubah hubungan produksi menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Begitu pula kekuasaan ideologis prinsip tukar atas masyarakat industri kapitalis tua yang membuat horkheimer dan adorno begitu pesimistik menjadi terkuak totalitasnya.

Dengan demikian pemikiran Habermas menjadi begitu multi dimensional, meskipun pendekatannya kritis dan materialistik, dan sekalipun ia masih berbicara tentang materialisme historis, akan tetap dalam kenyataannya ia telah meninggalkan kubu pemikiran marxisme. Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial di barat tidaklah terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, marxisme dalam bentuk ortodoksnya sudah lebih dari setengah abad silam ditanggapi dengan sikap kritis.

F. Habermas sebagai Pembaharu Teori Kritis Melalui Paradigma Komunikasi dan Bahasa
Aksi komunikasi adalah sebuah bentuk interaksi yang tingkat keberhasilannya tergantung kepada ke dua belak pihak yang berinteraksi dalam mencapai persetujuan/kesepakatan dan saling pengertian, atau hubungan antara subyek dengan subyek (dialogis) dan bukan hubungan rasionalitas sasaran (monologis). Komunikasi dialogis ini masing-masing pihak berperan aktif, dimana semua pihak mengambil alih peran orang lain sehingga terjadi apa yang disebut Mead “ideal role-taking”. Pada komunikasi dialogis ini saling pengertian dapat tercapai, sehingga Habermas menamakan dengan Rasionalitas komunikatif. Teori Aksi komunikasi Habermas terbagi menjadi speech-act philosophy filsafat seni pembicaraan, sosiolinguistik, dan khususnya dari ide keterlibatan percakapan (the idea of conversational implicature ).

Menurut Habermas, interaksi antar manusia dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang ekspresif (mengandung makna) , sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian. Komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu:

Pertama, Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud
Kedua, Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan
Ketiga, Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong
Keempat, Ia harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.
Dalam mencapai saling pengertian dalam komunikasi syarat yang harus dipenuhi adalah: inevitably / keinginan untuk melakukan pembicaraan bersama, dan adanya saling ketertarikan dalam melakukan komunikasi itu, sehingga persetujuan/pengertian itu dapat mencapai hasil maksimal.

G. Habermas dan Pandangan atas Agama
Habermas berargumen bahwa ada satu kemiripan tajam antara tipe-tipe tertentu dalam tradisi budaya Yahudi dengan idealisme Jerman, yang akarnya seringkali dipandang berasal dari Pietisme Protestan. Suatu kemiripan penting, yang krusial khususnya bagi pemahaman Teori Kritis, adalah ide Cabalistic lama bahwa tuturan, ketimbang gambar, adalah satu-satunya cara untuk mendekati Tuhan. Jarak antara agama bahasa Ibrani, bahasa sakral, dan tuturan profane dalam Kitab Pelarian (satu kitab dalam perjanjian lama) berimbas kepada orang yahudi yang tidak percaya kepada dunia wacana terkini. Hal ini karena sejalan dengan kritik idealis terhadap realitas empiris,yang mencapai puncaknya pada dialektika Hegelian. Meskipun orang tidak dapat membuat batas tegas antara para pendahulu yahudi di Mazhab Frankfurt dengan teori dialektikanya.
Habermas mengatakan, bahwa globalisasi terjadi karena adanya kepentingan pasar antar industri transnasional, tetapi meskipun keadaan ini mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan kesadaran baru masyarakat itu sangat minim. Disinilah agama memegang peranan penting dalam sebagai peacemaker secara mental.

H. Habermas dan Ilmu Pengetahuan
Titik tolak kritikan Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangan jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat, artinya ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek hidup sehari-hari.

Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan kedalam dan diperoleh lewat teori. Dalam ilmu pengetahuan modern kata teori sudah kehilangan makna, oleh karena itu Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Lalu ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria” yang artinya kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan didalam dirinya.

Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), dengan cara itu teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya .sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praxis. Dalam filsafat yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni. Dan satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi. (husser mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu.

I. Kesimpulan
Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris. Semua pemikiran-pemikirannya sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai tujuannya membentuk masyarakat yang merdeka, independen, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri, masyarakat harus melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication action) agar dicapai apa yang sebenarnya disebut kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk kesepakatan atau konsensus. Dengan demikian masyarakat tersadar bahwa sebenarnya mereka hidup diatas dunia yang penuh kepalsuan dengan menerima segala bentuk situasi sebagai keadaan yang tidak bias diubah, padahal jika masyarakat menyadarinya maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi entitas yang bebas untuk memperjuangkan emansipasinya sendiri seperti yang diinginkannya serta tidak terjebak dalam kepura-puraan modernisasi yang hanya berpihak pada satu sisi ansich.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar