Rabu, 13 Agustus 2014

Jadikan Sains sebagai Panduan, Buang Agama (Catatan Kecil untuk Karya Ioanes Rakhmat “Beragama dalam Era Sains)


Ioanes Rakhmat adalah satu dari sedikit penulis serius, pakar yang berwibawa, filsuf yang gelisah sekaligus guru yang tulus, yang dimiliki negeri ini. Karya-karyanya menggetarkan. Ia mencari pengetahuan langsung pada sumbernya. Ia memaparkan fenomena apa adanya. Ia tidak menyembunyikan maksud apapun dalam kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya. Paling tidak, itulah yang tergambar dalam karya mutakhirnya “Beragama dalam Era Sains Modern”.

Buku setebal 499 halaman itu adalah karya paling mengasyikan, paling indah,sekaligus paling menantang.Ia mengasyikan karena berisi pertanyaan-pertanyaan paling tua tentang pengetahuan dan keyakinan. Ia mengasyikan karena memuat fakta dan temuan teranyar ilmu pengetahuan. Ia menantang karena mengajak orang beragama untuk keluar dari benteng iman.

Meski terdiri dari 14 Bab, sebenarnya, pilar utama buku Beragama dalam Era Sains Modern hanya dua. Pertama, Bab 4 yang membahas eksistensi Allah, Hakikat jagad raya dan Hakikat Manusia. Kedua, Bab 5 yang membahas Pengalaman-pengalaman Spiritual ditinjau dari Neurosains. Pada kedua bab itu, terletak dua pertanyaan, sekaligus dua jawaban serius. Pertanyaan pertama, apakah Allah sebagai sumber semua bentuk kehidupan dapat dipertahankan sebagai tesis yang benar?(h.123) Pertanyaan kedua, apakah pengalaman spiritual bukanlah bagian dari pengalaman dekat kematian?(h.176). Jawaban atas kedua pertanyaan itu disajikan dengan penuh pesona oleh Rakhmat, sebelum menutup bukunya dengan “hiburan kecil” bagi para agamawan dengan bab berjudul “Menuju Spiritual Saintifik”.

Diantara takzim menikmati dua pertanyaan dasar Rakhmat, terselip dua butir kegelisahan yang mengkristal dalam catatan pendek ini. Pertama, teori evolusi adalah benar. Kedua, Allah sebagai ukuran kebenaran adalah absurd.

Karena teori evolusi benar, patut diterima bahwa manusia proses perjalanan panjang kehidupan. Berawal dari bentuk kehidupan bersel tuggal yang disebut arkhea, sebuah perjalanan kehidupan semesta telah membentuk ras homo sapiens yang kini menguasai bumi.
Selanjutnya, karena Allah sebagai kebenaran agama adalah absurd, maka orang beragama tidak pantas lagi memegang keyakinannya. Keyakinan agama adalah keyakinan kosong. Keyakinan tanpa bukti. Terkadang memalukan. Tetapi lebih sering kekanak-kanakan.

Baik sekali jika kedua preposisi di atas diterima sebagai benar. Setelah benar, kebenaran itu, mengikuti cara pengetahuan harus diuji dan disediakan bukti. Karena semua bukti sudah disediakan ilmu pengetahuan, maka mereka di luar kalangan ilmu pengetahuan sekarang bertanya. Jika hukum evolusi adalah benar, maka (1) evolusi tidak berhenti, dan (2) evolusi tidak hanya gejala alamiah planet bumi.

Dalam hal evolusi tidak berhenti, maka tidak ada satu pun bentuk kehidupan bersifat tetap. Tidak ada kupu-kupu yang tetap bentuknya. Tidak ada kerbau yang tetap bentuknya. Juga tidak ada homo sapiens yang tetap. Dalam hal ini konsistensi preposisi diuji. Sayangnya, para ilmuan, berupaya keras untuk menjaga bagian-bagian permanen dari evolusi. Teori pembawa keturunan yang dikonstruksikan Dawkins terkesan lebih sebagai paksaan yang merusak kebenaran dan konsistensi evolusi. Teori pembawa keturunan adalah penyangkalan evolusi atas dirinya sendiri.

Dalam hal evolusi tidak hanya gejala alamiah planet bumi, evolusi seharusnya juga terjadi di seluruh semesta. Itu artinya, planet berevolusi, asteroid berevolusi, galaksi berevolusi, juga jagad raya berevolusi. Ketika homo sapiens melalui evolusi di bumi, bumi pun sedang berevolusi dalam bima sakti, bima sakti sedang berevolusi dalam jagad semesta, dan jagad semesta itu sendiri berevolusi. Tidak ada yang permanen. Tidak ada yang diam. Semua bergerak. Persis seperti ungkapan Heraeklitos : “you can never step into the same river twice.”

Kedua prinsip dasar ini menjadi menarik manakala dihubungkan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika evolusi tidak berhenti, maka tidak ada pengetahuan definitif. Semua yang ada tentang pengetahuan hasil kerja metode ilmiah hanyalah hipotesa belaka. Hipotesa yang diperkuat oleh hipotesa yang lain: semesta itu berevolusi. Betapa indahnya.

Melangkah kini pada persoalan berikut: Allah sebagai sumber kebenaran agama adalah absurd. Baiklah. Jadi kebenaran apa yang akan diacu sekarang? Jawabannya: pengetahuan. Oke. Tentu itu melegakan. Karena setidaknya, manusia memiliki kepastian tentang kebenaran. Itu melegakan. Meskipun melegakan itu pada hakekatnya mekanistis. Apa alasannya kebenaran pengetahuan dapat diacu dan dipercaya? Karena apa yang dicari, dapat ditemui dibuktikan. Contohnya, jika dikatakan air adalah benda cair, maka dapat ditunjukkan bukti benda cair yang bernama air.

Kebenaran pengetahuan semakin kokoh karena memiliki kepastian. Contohnya? Lihat matematika. Jika 1 ditambah 1, hasilnya adalah 2. Lihatlah konstanta fisika. Dalam satu detik cahaya merambat sejauh 299.792.453 meter. Semua terukur. Semua dapat dibuktikan. Bukankah itu mendamaikan?

Tentu saja mendamaikan. Namun untuk memperkokoh keyakinan, ijinkan sebuah pertanyaan kecil dihadirkan. Pertanyaan kecil itu adalah: mengapa orang harus yakin pada angka 1, angka 2, angka 3 dan seterusnya? Mengapa angka-angka itu harus diterima sebagai benar? Mengapa 1 ditambah 1 tidak bisa 3?

Tentu tidak bisa. Matematika adalah ilmu pasti. Ilmu yang absolut nilainya.
Mengapa harus pasti? Mengapa harus absolut?
Karena dibutuhkan patokan ukuran absolut. Sesuatu yang bersifat tetap. Pasti.
Sebentar. Matematika butuh ketetapan?

Butuh kepastian?

Tidakkah itu terdengar seperti sebuah dogma?

Kepastian dan kebenaran matematika terlihat sama seperti agama menjadikan Tuhan, Allah, atau apa saja sebutannya sebagai yang-tetap, yang-benar, dan yang-absolut.

Jika ilmu pengetahuan meminta agama menyingkirkan Allah sebagai kebenaran tertinggi dan absolut, maka ilmu pengetahuan juga harus konsisten untuk menjadikan sikap skeptis itu pada perangkat ilmu pengetahuan sendiri. Matematika dan nilai-nilainya serta rumus-rumusnya tentu juga tidak harus didefinisikan sebagai tetap, benar dan absolut.

Jika orang beragama membuang kebenaran absolut Allah, ilmuan harus membuang kebenaran absolut matematika. Karena sejatinya, semesta ini berevolusi, tidak ada yang tetap, juga tidak ada ketetapan itu sendiri.
Selamat merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar