Rocky Gerung*
(Majalah Tempo, 7 Jul 2014)
Debat bukan sabung ayam. Tapi kita telanjur menikmatinya begitu. Menunggu ada yang keok. Lalu bersorak, lalu mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik kita: mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.
Debat bukan sabung ayam. Tapi kita telanjur menikmatinya begitu. Menunggu ada yang keok. Lalu bersorak, lalu mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik kita: mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.
Debat adalah seni persuasi.
Seharusnya ia dinikmati sebagai sebuah pedagogi:
sambil berkalimat, pikiran dikonsolidasikan. Suhu percakapan adalah suhu
pikiran. Tapi bagian ini yang justru hilang dari forum debat hari-hari ini. Yang
menonjol cuma bagian demagoginya: busa kalimat. Pada kalimat berbusa, kita tak
menonton keindahan pikiran.
Dalam suatu rapat politik,
Haji Agus Salim, salah seorang pendiri negeri, berpidato memukau. Lawan
politiknya datang mengganggu dengan meneriakkan suara kambing: embeeek… embeeek. Teriakan itu jelas untuk
menghina. Janggut Agus Salim memang mirip janggut kambing. Rapat jadi gaduh.
Caci-maki memenuhi ruangan.
Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan tenang ia berbicara: “Maaf,
ini rapat manusia. Mengapa ada suara kambing?” Rapat berlanjut, setelah gelak
tawa meledak.Politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia
hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan. Ia memberi pelajaran. Politik
adalah pikiran. Bukan makian.
ooo
Demagogi adalah ilmu menyiram angin demi menuai bau, yaitu
mencari sensasi dalam psikologi massa untuk menikmati kebanggaan diri. Sang
tokoh akan mencari penonton demagogis, mereka yang siap menelan angin, siap
berjuang dengan modal angin. Dengan psikologi inilah politik mengepung publik.
Demokrasi kita hari ini ada dalam situasi itu.
Duel politik tak lagi bermutu.
Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan.
Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung.
Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan
massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Suatu sensasi aphrodisiac memompa adrenalin untuk memuaskan
politik demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di sana, hipokrasi
di sini. Dua-duanya kekurangan pikiran.
ooo
Negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat: bahwa kemerdekaan
harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak lagi dibodoh-bodohi oleh
kaum pinter dari luar. Kebodohan mengundang penjajahan.
Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, oleh yang berbahasa,
maupun yang bersenjata. Politikus dan pejuang tumbuh dalam kesimpulan yang
sama, yaitu kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.Panglima Sudirman semula
adalah seorang guru, lalu jadi jenderal. Jadi, dari mana kita belajar
demagogi?
Kendati suka memanfaatkan emosi massa, Sukarno bukanlah seorang
demagog. Ia memang mengumbar retorika, tapi tetap dalam kendali logika yang
kuat. Dalam sebuah pidato lapangan di depan barisan tentara, Sukarno
mengucapkan kalimat kurang-lebih begini: “Saudara-saudara tentara, kalian
adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah
alatnya alat.” Bukan sekadar retorikanya bagus, Sukarno mengucapkannya dalam
suatu silogisme.
Suatu pelajaran logika, bagi rakyat.
Jadi, dari mana kita belajar
mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan Sjahrir lihai membekuk
pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam berkalimat. Begitu juga yang
lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran. Pidato Sjahrir di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling
menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih:
“Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami,”
ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti,
ketimbang membantah argumen saya.”
Debat adalah pelajaran berpikir.
Negeri ini dihuni oleh gagasan, karena kita bertemu dengan
berbagai pengetahuan mancanegara. Filsafat dan ideologi sudah lama berseliweran
dalam pikiran pendiri negeri. Rasionalitas dan teosofi beredar luas di awal
kemerdekaan. Sastra dan musik disuguhkan dalam pesta dan konferensi. Suatu
suasana pedagogis pernah tumbuh di negeri ini. Tapi jejak poskolonialnya hampir
tak berbekas, kini.
Memang, ada
yang putus dari masa itu dengan periode Orde Baru: kritisisme.
Teknokratisasi pikiran, ketika itu, melumpuhkan kebudayaan.
Birokratisasi politik mengefisienkan pembuatan keputusan, karena tak ada
oposisi.Kritik yang pedas memerlukan pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam
datang dari logika yang kuat. Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran
publik agar tak berubah menjadi doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para
demagog. Kita hendak menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.
ooo
Debat
adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai
tergelincir. Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci.
Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung ayam. Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis. Tan Malaka pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme.”“Debate is a method of thinking. The critical point is when the rhetoric began to slip. The demise point is when the dialectic is locked.”
Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung ayam. Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis. Tan Malaka pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme.”“Debate is a method of thinking. The critical point is when the rhetoric began to slip. The demise point is when the dialectic is locked.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar