Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu
1. Rasionalisme Plato dan Descartes
Rasionalisme adalah
aliran yang meyakini hanya rasio/akal yang menjadi dasar kepastian.
Rasionalisme tidak menyangkal fungsi indra sebagai alat untuk memperoleh indra
pengetahuan, namun indra hanya diperlukan untuk merangsang dan memberikan pada
rasio bahan-bahan agar rasio dapat bekerja. Rasio mengatur bahan yang berasal
dari indra sehingga terbentuklah pengetahuan yang benar.Akan tetapi, keberadaan
indra tidak mutlak bagi rasio karena rasio dapat menghasilkan pengetahuan yang
tidak berasal dari indra, seperti terlihat dalam matematika. Terdapat banyak
tokoh yang menjadi eksponen aliran rasionalisme,diantaranya Plato (427-347 SM)
dan Descartes (1596-1650).
2. Empirisme : dari Aristoteles sampai David Hume
Empirisme sebagai
suatu aliran dalam filsafat ilrnu merupakan lawan dari rasionalme. Empirisme
menjadikan pengalaman indra (emperia) sebagai sumber kebenaran. Menurut
Aristoteles, ilmu didapat dari hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan
yang banyak dan berubah. Kemudian secara bertahap
sampai pada kebenaran yang bersifat “universal”. Dalam arti
inilah Aristoteles
dapat disebut sebagai salah seorang eksponen empirisme,
malah pada tahap awalnya.Di kemudian hari muncul pemikir bernama Francois Bacon
(1561-1626) yang memperkenalkan cara kerja induksi untuk memperoleh ilmu. John
Locke (1632-1704) dengan bukunya
Essay Concerning Human Understanding
(1689) yang ditulis berdasarkan premis bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman, dianggapsebagai tokoh utama empiris pada
era modern. Tokoh lain dari kalangan empiris adalah filsuf Inggris David Hume
(1711-1776). Ia seorang penganut empiris yangsangat radikal, bukan saja karena
ia menekankan pengalaman indrawi sebagai dasardari semua pengetahuan, melainkan
juga ia juga menolak adanya kausalitas, hokum sebab akibat yang diterangkan
akal.
3. Positivisme Comte dan Neopositivisme serta Perlawanan
Popper
Positivisme merupakan
suatu aliran filasafat yang dibangun oleh AugusteComte (17981857). Intinya
positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasi-spekulasi yang tidak dapat
dibuktikan secara positif. Comte ingin mengembangka nilmu dengan melakukan
percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual yangterdapat dalam kenyataan
empirik, bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang tidak
dapat dibuktikan secara positif lewat eksperirnen. BagiComte, positivisme
merupakan tahap akhir atau puncak dalam perkembangan pemikiran manusia. Comte
membagi perkembangan pernikiran manusia dalam tiga.tahap, yaitu:
a) Tahap mistik-teologik;
b) Tahap metafisik;
c) Tahap positif.
a) Tahap mistik-teologik;
b) Tahap metafisik;
c) Tahap positif.
Ilmu dan Nilai
Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan
ilmu kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas
nilaibagi mereka antara lain tampak pada penggunaan metodologi yang sama bagi semua
ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki cirri khas.
Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam,penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu.
Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, danTuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi).Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai.
Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkhei merbahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilrnu-ilmusosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilaiyang ingin dipertahankan.
Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokan-patokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan initidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili,melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.
Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam,penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu.
Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, danTuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi).Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai.
Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkhei merbahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilrnu-ilmusosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilaiyang ingin dipertahankan.
Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokan-patokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan initidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili,melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.
4. Kajian Filsafat
Filsafat tidak berkutat dengan menghasilkan sebanyak mungkin
jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan, melainkan lebih dulu
memusatkanperhatiannya pada pemeriksaan atas pertanyaan-pertanyaan,
merumuskannya secara tepat dan benar, baru kemudian mencoba menjawabnya. Jawaban
yangmuncul terbuka untuk dikritik, dipertanyakan kembali. Mengapa pemeriksaan terhadap
pertanyaan? Karena pertanyaan yang salah akan menimbulkan kekacauan berpikir
dan kerancuan jawaban.Pertanyaan-pertanyaan jenis apakah yang ditelaah dan
dicoba untuk dijawab oleh filsafat? Tentulah pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat fundamental bagi manusia. Filsafat tidak berurusan dengan
pertanyaan-pertanyaan remeh.
Imanuel Kant filsuf besar Jerman menyebutkan empat
pertanyaan pokok, yaitu:
1) Apa yang dapat saya ketahui?
2) Apa yang harus saya lakukan?
3) Apa yang dapatsaya harapkan?
4) Apakah manusia itu?
Bidang kajian itu adalah:
1) Kenyataan manusia yang hidup (filsafat manusia);
2) Yang hidup di dunianya (filsafat alam, kosmologi);
3) Mengembara menujuakhirat/Allah (filsafat ketuhanan);
4) Susunan dasar terdalam dari segala yang ada (rnetafisika atau ontology);
5) Disadari atau diketahui (filsafat pengetahuan);
6) Keterarahan atau penujuan (etika).
1) Apa yang dapat saya ketahui?
2) Apa yang harus saya lakukan?
3) Apa yang dapatsaya harapkan?
4) Apakah manusia itu?
Bidang kajian itu adalah:
1) Kenyataan manusia yang hidup (filsafat manusia);
2) Yang hidup di dunianya (filsafat alam, kosmologi);
3) Mengembara menujuakhirat/Allah (filsafat ketuhanan);
4) Susunan dasar terdalam dari segala yang ada (rnetafisika atau ontology);
5) Disadari atau diketahui (filsafat pengetahuan);
6) Keterarahan atau penujuan (etika).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar