Minggu, 16 November 2014

Film Festival inspiratif


Daun Di Atas Bantal 

dan Masalah Identitas



Daun di Atas Bantal adalah sebuah film Indonesia tahun 1998 yang disutradarai Garin Nugroho. Film ini menceritakan tentang seorang ibu yang bernama Asih (Christine Hakim) beserta tiga orang anaknya Heru, Sugeng, dan Kancil yang tinggal di jalanan kota YogyakartaIndonesia.
Film ini diproduksi oleh Christine Hakim, dan seharusnya selesai pada bulan Oktober 1997, tetapi akibat krisis ekonomi di Indonesia, maka akhirnya diselesaikan di Australia.
Dana penyelesaian datang dari beberapa sumber seperti Hubert Bals FundNHK dan RCTI. Selain itu film ini juga sudah dibuatkan untuk versi TV-nya.

Sinopsis

Cerita ini berfokus di mana ketiga anak ini hidup dari menjual ganja dan hidup di jalanan dengan harapan bisa keluar dari kemiskinan mereka. Akar dari permasalahan mereka sebenarnya akibat Asih selalu tidak menghiraukan mereka. Setiap malam ketiga anak ini selalu berkelahi untuk memperebutkan Bantal Daun kepunyaan Asih. tetapi harapan mereka pupus, ketika takdir mereka berakhir tragis.

Penghargaan

  • Asia-Pacific Film Festival - 1998 - Best Actress - Christine Hakim
  • Asia-Pacific Film Festival - 1998 - Best Film
  • Singapore International Film Festival - 1999 - Unggulan dalam kategori Silver Screen Award Best Asian Feature Film - Garin Nugroho
  • Tokyo International Film Festival - 1998 - Special Jury Prize - Garin Nugroho


SutradaraGarin Nugroho
PenulisGarin Nugroho
Armantono
PemeranSarah Azhari
Deni Christanta
Christine Hakim
Heru
Kancil
Sugeng
Kabri Wali
Julie Estelle
MusikDjaduk Ferianto
SinematografiNurhidayat
PenyuntingSentot Sahid
StudioChristine Hakim Film
DistributorChristine Hakim Film
Tanggal rilis14 Agustus 1998
Durasi83 menit
NegaraIndonesia


Film itu jika kita simak tidak melulu membahas masalah kaum terpinggirkan. Bahwasanya Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945 dan seperti juga dalam isi UUD 1945 pasal 34 ayat 1 : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pada kenyataannya anak-anak yang terlantar dan fakir miskin tidak dipelihara oleh negara dan ironisnya lagi adalah tidak adanya perlindungan bagi mereka. Dalam kondisi seperti itulah Asih bagaikan ibu pertiwi yang menampung tiga anak jalanan bernama Kancil, Sugeng dan Heru yang berlatar etnis berbeda-beda juga memiliki karakter yang berbeda-beda, seolah menggambarkan Indonesia yang heterogen.
Cara mereka untuk bisa bertahan hidup juga amat menarik untuk disimak, menggambarkan betapa “aturan” yang ada itu sudah tidak dipikirkan lagi. “Taik kucing dengan segala aturan” itu kita bisa lihat dalam kehidupan kita sehari-hari, lihat saja betapa banyak yang melanggar aturan lalu lintas padahal mereka menyadari bahwa aturan itu memang ada dan dibuat untuk mereka semua. Apa penyebabnya ? Apakah alienasi seperti pemikiran Marx ? Alienasi karena struktur sosial ? Apakah alienasi itu akan melahirkan konflik sosial ?
Konflik antar anak asuh dan ibu asuh itu juga selalu terjadi bahkan sesama anak asuh itu sendiri, seperti halnya yang kita lihat bahwa konflik yang bernuansa SARA sering terjadi dan tidak selalu latar ekonomi adalah akar utama konflik itu bahkan terkesan latar ekonomi adalah ‘bungkus’ belaka untuk menutupi perbedaan-perbedaan yang ada dan disempitkan sehingga saat mencari akar konflik itu menjadi banal. Perbedaan-perbedaan itu seharusnya bisa menjadi satu kekuatan dan satu kekuatan itu ada dalam naungan ibu pertiwi sebagai ibu yang mengasuh semua anak-anak yang ada, karena dengan adanya perbedaan dan mempelajari perbedaan serta saling menghormati perbedaan itu akan membawa pada suatu masyarakat yang harmonis, “ harmoni dalam perbedaan” bukankah hal itu juga yang termaktub dalam “Bhinneka Tunggal Ika” ?
Demokrasi pada hakekatnya adalah sebuah ruang kosong, yang oleh karena itu oleh pemilik sejatinya, yakni “rakyat yang berdaulat”, dipinjamkan kepada berbagai rezim atau pemerintahan yang berkuasa secara sementara

Lingkaran setan kemiskinan yang melanda masyarakat terpinggirkan akan melahirkan upaya mereka keluar dari kemiskinan itu sendiri, baik secara “benar” maupun “tidak benar” atau dengan istilah umum adalah usaha haram ataupun halal yang merupakan wujud perlawanan mereka. Kesemuanya adalah symbol yang tampak tapi yang tidak tampak itu adalah “perlawanan”, “ketidakberdayaan”, dan satu lagi adalah “keberadaannya” ( eksistensi ) yang perlu celah untuk dihargai dan diterima. Saat manusia atau sekelompok orang tidak berdaya menghadapi kekuatan lebih besar maka yang dilakukan bisa dengan penolakan total, penerimaan total atau hybrid.

Kutipan :
Seorang Sutradara handal "Christine hakim" cukup kita acungi jmpol dlm proses pmbuatan film ini telah melalui proses panjang,terutama 2 tokoh anak jalanan yg memang kehidupan asli keseharian menjadi gembel di kereta,tidak mudah bagi seorang "Christine hakim" melatih 2 anak tersbut ikut bagian dalam filmnya,susah di atur dsb- wlw sempat di angkat menjadi anak oleh beliau toh pada akhirnya 2 anak tersebut hilang dan kembali ke kehidupan aslinya... well..well.. film ini  mengambil tema tentang anak jalanan kemiskinan & gaya hidup,khidupan yang keras dan banyak pembelajaran dari kisah film ini.walaupun ini film lama bagi yang belum nonton wajib untuk di tonton... atau bisa download di :


 http://www.stafaband.info/download/mp3/lagu_daun_di_atas_bantal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar